General Lecture: Court Innovation and Technology (22/7)
- Published in Berita
- Be the first to comment!
Anne Wallace (kedua dari kiri), sedang menyampaikan general lecture mengenai Court Innovation and Technology. Dia didampingi Dirjen Badilag Wahyu Widiana, penerjemah Viona, dan penasihat senior The Family Court of Australia Leisha Lister (paling kanan).
Jakarta l badilag.net
Berbagai persoalan masih melingkupi pemanfaatan teknologi di pengadilan agama, dari kurangnya pegawai yang ahli di bidang komputer sampai resistensi dari kalangan tertentu, baik secara halus maupun terang-terangan.
Kondisi ini melatarbelakangi Badilag menggelar diskusi bertajuk Court Innovation and Technology, Kamis (22/7/2010). Dipandu langsung oleh Dirjen Badilag Wahyu Widiana, acara ini menghadirkan narasumber Anne Wallace, Phd, asisten professor Universitas Canberra, yang didampingi Leisha Lister, penasihat senior The Family Court of Australia.
“Proyek IT adalah proyek perubahan, dan proyek perubahan selalu sulit diikuti orang-orang,” kata Anne Wallace, di hadapan para peserta yang terdiri dari pimpinan dan perwakilan PA di Jabodetabek.
Untuk mengatasi persoalan ini, Anne menawarkan kombinasi atas berbagai strategi. “Saudara harus menerima kenyataan, bahwa memang ada orang yang tidak mau menerima perubahan. Mereka harus dilewati. Atau diberi insentif, supaya mereka berubah,” ujarnya.
Di sisi sebaliknya, ada orang-orang yang sangat mengakrabi perubahan, bahkan terlibat aktif. Masalahnya, bagaimana caranya menahan orang tersebut agar tidak terlalu bersemangat. “Tapi kebanyakan orang berada di tengah-tengah,” Anne menegaskan.
Pada dasarnya, menurut Anne, teknologi memang berkontribusi positif terhadap manajemen perubahan. “Teknologi bisa menjadi alat untuk memaksa terjadinya perubahan di pengadilan,” kata Anne. “Dan yang paling baik adalah memberikan pemahaman, bagaimana perubahan ini membawa manfaat.”
Untuk itu, pertama-tama yang mesti dilakukan adalah meluruskan persepsi mengenai teknologi. Cara pandang terhadap teknologi akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana sebuah institusi memanfaatkan teknologi itu.
Kenyataannya, kata Anne, ada yang mempersepsi teknologi sekedar sebagai aksesoris. Dengan kata lain, hanya untuk gaya-gayaan. Memang benar, teknologi adalah simbol modernitas. Namun sangat disayangkan bila teknologi hanya dijadikan penanda kemajuan, bukannya dipergunakan untuk menunjang kerja dan pelayanan.
“Perceptions are important,” ujar Anne. “Kita harus melakukan sesuatu dengan alasan yang benar. Meskipun kita akui anggapan orang dan politik itu penting, tapi yang paling penting adalah teknologi sebagai alat. Bukan sekedar membuat jadi keren.”
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kesesatan berpikir. Selama ini, terdapat asumsi bahwa teknologi adalah barang mewah. Mengembangkannya di pengadilan sama halnya dengan mengeluarkan uang banyak.
Anne menepis asumsi tadi. Kata dia, inovasi dalam teknologi tidak harus berarti mahal. “Lebih baik perkembangannya bertahap (step by step) ketimbang langsung punya proyek yang besar. Lihat dulu hasilnya seperti apa, belajar dari kesalahan, lalu terbentuklah sistem yang baku,” ujar mantan pengacara ini.
Berdasarkan pengalaman Anne di berbagai negara, sering proyek-proyek pengembangan teknologi mengalami kegagalan karena terlalu ambisius dan perangkat-perangkat dasarnya tidak terlalu kuat. Kegagalan itu bisa juga lantaran proyek IT hanya jadi project pilot tapi tak pernah dilaksanakan secara menyeluruh.
Pengembangan teknologi di pengadilan juga harus didukung penuh oleh pimpinan. “Perubahan IT ini saya melihat, berhasil karena adanya kepemimpinan yang baik. Itu terjadi di banyak negara,” kata Anne. “Pesan saya, hakim itu perlu menaruh niat dan terlibat langsung dalam penerapan teknologi di pengadilan.”
Dukungan pimpinan pengadilan mesti direspon dengan tepat oleh para pegawai. Bagi pegawai bidang IT, sangat penting untuk memahami sifat alami dan kebutuhan mendasar pengadilan. Bagaimanapun, pengadilan berada pada hirarki yang tinggi. Sangat benting bagi pegawai bidang IT untuk menghormati dan memahami struktur di pengadilan
Sebaliknya, staf pengadilan juga harus menghargai keterampilan atau kreativitas orang IT. “Ini proses dua arah: kemitraan,” Anne menegaskan.
Di luar itu, yang juga tidak boleh diabaikan adalah pengelolaan teknologi itu sendiri. Teknologi mesti diadministrasikan dan diatur dengan baik. Perlu ada koordinator yang berposisi sentral. Dengan begitu, pengelolaan IT menjadi bagian tak terpisahkan dari pengadilan.
“Harus ada manajemen dan pelaporan yang jelas sehingga masing-masing pihak tahu peranannya dan tahu tanggung jawabnya,” kata Anne.
Dirjen mengafirmasi
Dirjen Badilag Wahyu Widiana menyatakan segagasan dengan Anne Wallace. Diceritakannya, 3-4 tahun lalu peradilan agama tak mengerti apa-apa soal IT. Bahkan email saja tidak punya. “Tapi karena ada undangan dari Family Court Australia, kami belajar di sana, lalu mengembangkannya. Sekarang tinggal menata agar lebih efektif,” ungkapnya.
Semakin hari, kata Dirjen badilag, warga peradilan agama semakin memahami manfaat IT. Karena itu, hampir seluruh dari 343 pengadilan tingkat pertama dan 29 pengadilan tingkat banding telah memanfaatkan teknologi untuk menunjang pekerjaan dan pelayanan terhadap pencari keadilan.
Dirjen badilag sepakat, pengembangan IT di pengadilan harus step by step. “Kadang-kadang kita ingin cepat. Misalnya ingin membuat teleconference, padahal kita sebetulnya belum membutuhkannya,” ujarnya.
Dirjen Badilag juga meneguhkan pandangan Anne bahwa mengembangkan teknologi di pengadilan tidak harus menguras banyak biaya. “Walaupun tidak ada dana, kita bisa survive, karena ada tekad kita. Kita harus terlibat, tidak hanya pelaksana IT saja. Bahkan tidak ada alasan lagi bagi hakim untuk tidak terlibat,” Dirjen menegaskan.
(hermansyah)