diskusi hukum secara berkelanjutan Hakim Tinggi dan Panitera Pengganti Mahkamah Syar’iyah Aceh | (02/05)
- Published in Berita
- Be the first to comment!
Banda Aceh | ms-aceh.go.id
Kata orang bijak, enak makan dikunyah-kunyah, enak kaji diulang-ulang. Itulah barangkali kata yang tepat bagi kegiatan Hakim Tinggi dan Panitera Pengganti pada Mahkamah Syar’iyah Aceh. Betapa tidak, kegiatan diskusi hukum secara berkelanjutan kembali digelar pada hari Selasa tanggal 1 Mei 2012. Kegiatan diskusi itu sendiri telah berlangsung beberapa kali dan Insya Allah akan terus berlanjut dan telah merupakan agenda kegiatan yang dikoordinir oleh Tim Pengkaji dan Pelaksana Pembinaan Personil Hakim sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Nomor : W1-A/118/KP.03/I/2012 tanggal 12 Januari 2012.
Kegiatan diskusi kali ini menampilkan pemakalah H. Yazid Bustami Dalimunthe, SH Hakim Tinggi yang baru saja bertugas di Mahkamah Syar’iyah Aceh, sebelumnya beliau adalah Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Bengkulu. Pemakalah menyampaikan materi dengan topik Penerapan Alat Bukti Tertulis Dalam Pemeriksaan Perkara. Menurut H. Yazid, dalam hukum acara perdata menjadi kewajiban bagi kedua belah pihak yang berperkara untuk membuktikan. Hal ini seperti ketentuan dalam pasal 1865 BW yang menyatakan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Ketentuan seperti itu juga terdapat dalam pasal 163 HIR /283 Rbg. “Jadi berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dapat diambil suatu ajaran tentang pembuktian yaitu Penggugat wajib membuktikan dalil-dalil gugatnya, sedangkan Tergugat wajib pula membuktikan dalil-dalil bantahan atau sanggahannya”, kata H. Yazid menjelaskan.
Dijelaskan lebih lanjut oleh pemakalah, bahwa bukti tertulis tersebut ada 3 (tiga) macam yakni (1). Akta autentik, yaitu akta yang dibuatoleh dan di hadapan pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan. (2). Akta di bawah tangan, ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa melibatkan/bantuan pejabat umum yang berwenang. (3). Akta sepihak, yaitu akta yang ditulis dan ditanda tangani sendiri (sepihak) contohnya bukti pembayaran dengan kwitansi.
Pemakalah menjelaskan secara jelas tentang syarat formil dan syarat materil ketiga macam akta tersebut dan kekuatan pembuktiannya masing-masing. Disebutkan, bahwa semua surat- surat yang dijadikan alat bukti di persidangan harus dinazegelen (dimateraikan) terlebih dahulu di kantor pos sesuai dengan Undang-Undang No.13 Tahun 1985 dan Penjelasannya agar surat tersebut dapat dinilai sebagai alat bukti.
Menanggapi pertanyaan salah seorang peserta yaitu Azhar Ali, SH tentang alat bukti yang telah dilegalisir oleh Panitera, H. Yazid Bustami menjelaskan bahwa sekalipun alat bukti telah dilegalisir oleh Panitera tetapi tetap harus diperlihatkan aslinya di persidangan lalu diberi tanpa “P” untuk bukti Penggugat dan “T” untuk bukti Tergugat serta diparaf oleh Ketua Majelis. Dalam diskusi yang mendapat antusias dari peserta tersebut, salah seorang peserta diskusi A. Mu’thi mengatakan bahwa dalam keadaan tertentu, foto copy dari foto copy dapat diterima sebagai bukti. A. Mu’thi merujuk kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 2008 yaitu Putusan Nomor : 1498 K/Pdt/2006 tanggal 23 Januari 2008. Disebutkan, Majelis Hakim tingkat pertama menggunakan alat bukti foto copy untuk menunjang pengakuan Termohon/Tergugat III, bahwa tanah sengketa semula milik orang tua Pemohon/Penggugat yang setelah beralih ke tangan Termohon/Tergugat II kemudian dibeli oleh Termohon/Tergugat III. Tanpa melihat dalam konteksnya, Pengadilan Tinggi membatalkan putusan Pengadilan Negeri atas dasar bahwa putusan Majelis Hakim tingkat pertama didasarkan pada bukti yang tidak sah. Dalam pemeriksaan kasasi, ternyata Majelis Hakim Kasasi membatalkan putusan Pengadilan Tinggi karena telah salah menerapkan hukum atas dasar pertimbangan yang tidak cukup (onvoldoende gemotiveerd);
Akhirnya, Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Drs. H. M. Jamil Ibrahim, SH. MH yang bertindak sebagai nara sumber menyampaikan kesimpulan diskusi dan sekaligus tanda berakhirnya diskusi tersebut.
Diskusi hukum yang akan datang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 30 Mei 2012 dengan pemakalah Drs. Nuzirman, M. HI mengambil topik pengakuan sebagai alat bukti. Bagi pengunjung website yang kita cintai ini dapat mendownload makalah diskusi tersebut pada menu Bimtek & Diskusi.
(H. Abd. Hamid Pulungan)