msaceh

Berita

Berita (1171)

Dr. H. Habiburrahman : Jasa Keuangan Syariah Diminati Masyarakat | (2/9)

Banda Aceh | ms-aceh.go.id

Tenaga pengajar yang menjadi nara sumber pada Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah Peradilan Agama seluruh Indonesia yang sedang berlangsung di Balitbang Diklat Kumdil MA Megamendung, Bogor Jawa Barat sebagian diantaranya adalah Hakim Agung yang berasal dari Kamar Peradilan Agama dan dari Kamar Perdata. Salah satu diantaranya adalah Yml. Dr. H. Habiburrahman, M. Hum. Beliau tampil sebagai nara sumber dengan membawakan topik Pegadaian Syariah.

Menurut Hakim Agung yang berasal dari Sumatera Selatan ini bahwa pegadaian syariah telah berkembang dimana-mana, hal ini sejalan dengan perkembangan ekonomi syariah yang mendapat sambutan positif di tengah-tengah masyarakat. “Alhamdulillah,  ekonomi syariah telah diminati masyarakat sehingga banyak berkembang jasa keuangan yang berdasarkan syariah termasuk di dalamnya pegadaian syariah,” tandas mantan Ketua PTA Pekanbaru ini.

Dalam penjelasannya, Habiburrahman menguraikan bahwa yang akan menjadi kewenangan PA / MS dalam mengadili sengketa pegadaian syariah adalah apabila akad tidak sesuai dengan kenyataan. Misalnya saja dalam akad disebutkan bahwa orang yang menggadaikan barangnya akan menerima sejumlah uang dari pegadaian syariah. Apabila ternyata uang yang diterima tidak sesuai dengan jumlah yang tercantum pada akad, maka orang yang menggadaikan tersebut dapat mengajukan gugatan melalui PA / MS. Pihak pegadaian syariah juga dapat mengajukan gugatan apabila ternyata orang yang menggadaikan tidak melunasi atau menebus barang yang digadaikan, sementara nilai barang gadaian tidak mencukupi membayar hutangnya karena terjadi penurunan harga barang yang digadaikan.

Adapun yang menjadi dasar hukum gadai syariah adalah surat al-Baqarah ayat 283 yang artinya, jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Dijelaskan oleh Habiburrahman, macam-macam  akad gadai syariah terdiri dari bai’, syirkah, mudharabah, muzara’ah, musaqah, murabahah, khiyar, ijarah, istisna’(inden), hawalah dan lain-lain.

Dalamperjalanan pegadaian syariah selama ini yang mendominasi nasabahnya adalah masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah, misalnya pedagang kecil, petani dan lain sebagainya, oleh karena itu nilai gadaiannyapun relatif kecil. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka kecil kemungkinan terjadi gugatan dalam pegadaian syariah. Sesuai dengan data yang diterima melalui laporan-laporan dari PA / MS se Indonesia, sampai dengan sekarang ini belum ada gugatan dalam sengketa pegadaian syariah. Namun demikian, Habiburrahman berpesan kepada peserta Diklat ekonomi syariah supaya tetap mendalami tentang sengketa pegadaian syariah. “Saya minta kepada peserta supaya bersungguh-sungguh  mempelajari pegadaian syariah sehingga apabila ada perkara yang diterima sudah siap mengadilinya,” kata Habiburrahman berpesan.

(AHP)

Read more...

Comment

DPRA, Gubernur dan Ketua MS Aceh Konsultasikan Rancangan Qanun Ke Jakarta | (4/10)

foto Sidang perkara Jinayat No. 01/JN/2012/MS-Lsk, tanggal 8 Juni 2012 di Mahkamah Syar’iyah Lhoksukon

Banda Aceh | ms-aceh.go.id

Salah satu keistimewaan yang dimiliki oleh Mahkamah Syar’iyah adalah kewenangan memeriksa dan mengadili perkara jinayah. Kewenangan tersebut diamanatkan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Pada Pasal 128 ayat (3) disebutkan, Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata) dan jinayah (hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam.

Pada Pasal 132 ayat (2) dijelaskan sebelum Qanun Aceh tentang hukum acara dbentuk, maka hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai ahwal al syakhsiyah dan muamalah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini. Dan hukum acara yang berlaku sepanjang mengenai jinayah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.

Pada saat sekarang ini sedang dibahas di DPR Aceh Rancangan Qanun tentang hukum acara jinayah dan telah sampai pada tahap dengar pendapat dengan berbagai elemen masyarakat, baik dari praktisi maupun akademisi. Guna untuk melengkapi masukan dan pendapat, maka DPR Aceh dan Eksekutif akan melakukan konsultasi dengan beberapa Instasi terkait di Jakarta. Peserta konsultasi tersebut adalah DPRA, Gubernur, Kapolda, Kajati, Ketua Mahkamah Syar’iyah, Kakanwil Hukum dan Ham Aceh. Sesuai jadwal konsultasi akan berlangsung dari tanggal 7 s.d. 12 Oktober 2013.

Menurut keterangan Ketua MS Aceh kepada redaktur website bahwa Instansi yang akan dikunjungi adalah Kementerian Dalam Negeri,  Kementerian Hukum dan Ham, Kepolisian dan Kejaksaan Agung. Konsultasi tersebut dimaksudkan untuk mendapat masukan dari berbagai pihak agar Rancangan Qanun hukum acara jinayah lebih lengkap dan sempurna sehingga pembahasannya dapat rampung dalam tahun 2013 ini.. “DPRA, Gubernur, MS Aceh dan Instansi terkait akan konsultasi ke Jakarta tentang Rancangan Qanun hukum acara jinayah semoga semuanya lancar,” ujar Ketua menjelaskan.

Seperti diketahui bahwa kendala utama dalam memeriksa dan mengadili perkara jinayah adalah tidak ada kewenangan bagi penyidik, penuntut umum dan hakim  untuk melakukan penahan bagi tersangka atau terdakwa sehingga proses persidangan tidak dapat dilaksanakan karena tersangka atau terdakwa tidak dapat dihadirkan jaksa di persidangan. Akibatnya, banyak perkara jinayah dinyatakan tidak dapat diterima dengan mengacu kepada SEMA No. 1 Tahun 1981 yang menyebutkan, dalam hal perkara yang diajukan oleh Jaksa, terdakwanya sejak semula  tidak hadir dan sejak semuka tidak ada jaminan bahwa terdakwa dapat dihadirkan di persidangan, perkara demikian dinyatakan tidak dapat diterima.

Sesuai dengan Pasal 21 ayat 4 huruf (a) KUHAP bahwa penahan tersangka atau terdakwa hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Sementara itu, ancaman yang diatur dalam Qanun adalah ancaman hukuman cambuk, oleh sebab itulah tersangka atau terdakwa dalam pelanggaran Qanun tidak dapat ditahan.

Dalam Rancangaan Qanun hukum acara jinayah yang sedang dibahas oleh DPR Aceh diberikan kewenangan bagi penyidik, JPU dan Hakim melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Dengan demikian, diharapkan persidangan akan berjalan dengan lancar tanpa ada kendala seperti dialami sekarang ini. Semoga pembahasa Rancangan Qanun hukum acara jinayah dapat disahkan pada tahun 2013 ini.

(AHP)

Read more...

Comment

DPRA dan Gubernur Didesak Revisi Qanun Jinayah

BANDA ACEH - Para kepala Dinas Syariat Islam (DSI) se-Aceh mendesak DPRA dan Gubernur Aceh segera menyelesaikan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah dengan cara merevisi pasal yang mengatur tentang rajam. 


Revisi qanun ini sangat diperlukan, agar tidak terjadi kevakuman pasal-pasal lain, apalagi kalau aturan yang sudah dibahas oleh legislatif menggantung dalam waktu yang lama.

Desakan itu tertuang dalam butir rekomendasi Rapat Koordinasi (Rakor) Pelaksanaan Syariat Islam yang berlangsung 28-29 September 2011 di Hotel Aceh, Banda Aceh. 

Rakor itu dihadiri 100 peserta yang umumnya berasal dari DSI kabupaten/kota dan Mahkamah Syar’iyah (MS). Rakor berakhir Kamis (29/9), ditutup oleh Kepala Dinas Syariat Islam Aceh, Prof Dr Rusjdi Ali Muhammad.

Raqan Jinayah dan Hukum Acara Jinayah yang dibicarakan itu sebetulnya sudah dibahas dan diparipurnakan anggota DPRA periode 2004-2009. Namun, qanun ini belum mendapat persetujuan bersama dari pihak eksekutif, sehingga belum bisa dilaksanakan.  

Dalam Rakor DSI kemarin, selama dua hari pejabat DSI se-Aceh antusias membahas kendala pelaksanaan syariat Islam selama ini. Aliran sesat, nikah siri, serta persoalan sosial lainnya menjadi pokok bahasan dalam rakor, meski tidak bermuara pada rekomendasi.  Secara umum, rekomendasi rakor titik beratnya adalah pada teknis pelaksanaan syariat Islam di lapangan. 

Seusai paparan makalah oleh narasumber, yakni Guru Besar IAIN Alauddin Makassar, Prof Dr Jalaluddin Rahman, dan Guru Besar Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr A Hamid Sarong MH, peserta diberi kesempatan melaporkan implementasi penegakan syariat Islam di daerah masing-masing. Persoalan minimnya keuangan dalam proses penegakan syariat Islam serta beking aparat terhadap tempat maksiat, menjadi inti laporan utama para pelapor. 

Menjelang penutupan, tiga komisi menelurkan beberapa rekomendasi. Juru Bicara Komisi B Hasbi Endra (Kadis SI Simeulue), dan Jubir Komisi C Malek Kasem masing-masing melaporkan hasil kerja mereka dan berharap menjadi pijakan ke depan.   

Kepala DSI Aceh, Prof Dr Rusjdi Ali Muhammad mengatakan, program yang tertuang dalam rekomendasi akan dimatangkan kembali, kemudian dimasukkan menjadi program kerja DSI tahun 2012 dan seterusnya. “Kita harus terus berpikir bagaimana cara untuk memperkuat syariat Islam. Pelaksanaan syariat Islam harus didukung oleh semua pihak,” ujarnya.

Ditemui seusai rakor, Wakil Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), Tgk HA Rahman Kaoy mengatakan, memandikan para pelaku khalwat dengan air comberan bukanlah adat Aceh. Menurutnya, hukuman spontanitas yang dijatuhkan warga terhadap para pelanggar syariat selama ini harus diganti dengan hukuman lain yang lebih mendidik. 

“Misalnya, para pelanggar dinasihati, lalu diberi ganjaran membersihkan masjid. Tapi kalau tetap mengulangi lagi perbuatannya sampai tiga kali, maka usir saja dia dari kampung tersebut,” ujarnya.

Secara terpisah, Kepala Bidang Pemuda dan Kaderisasi MAA Aceh, Mulyadi Nurdin berharap, pemuda yang biasa sering menjadi motor dalam penegakan hukum adat di kampung-kampung, agar selalu berkoordinasi dengan tokoh masyarakat sebelum memutuskan hukuman adat. “Para pemuda tidak boleh emosional, tapi harus mengedepankan aspek humanisme dalam memberikan hukuman,” ujarnya.  

Dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008, kata Mulyadi, telah ditegaskan bahwa pembinaan kehidupan adat berasaskan nilai-nilai keislaman, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, keharmonisan, ketertiban dan keamanan, ketenteraman, kekeluargaan, kemanfaatan, kegotongroyongan, kedamaian, permusyawaratan, dan kemaslahatan umum. “Semua item itu harus dipedomani dan dipertimbangkan dalam pembinaan kehidupan adat di Aceh. Termasuk dalam menjatuhkan hukuman atas nama hukum adat,” imbuhnya.(swa/nal)

Sumber :http://aceh.tribunnews.com

Read more...

Comment

Subscribe to this RSS feed
lapor.png maklumat_pelayanan.jpg

HUBUNGI KAMI

Mahkamah Syar'iyah Aceh

Jl. T. Nyak Arief, Komplek Keistimewaan Aceh

Telp: 0651-7555976
Fax: 0651-7555977

Email :

ms.aceh@gmail.com

hukum.msaceh@gmail.com

kepegawaianmsaceh@gmail.com

jinayat.msaceh@gmail.com

LOKASI KANTOR