Drs. Zulkarnain Lubis MH : Analisa TerhadapIstilah Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga di dalam UUP dan KHI
Analisa TerhadapIstilah Kepala Keluarga dan Ibu Rumah Tangga di dalam UUP dan KHI
Oleh : Drs. Zulkarnain Lubis MH/Ketua MS. Langsa
Pendahuluan
Menarik menganalisa apa yang disampaikan oleh Prof.Dr. Atho Mudzhar M.A. dalam diskusi hukum yang diselenggarakan oleh Badilag pada tanggal 4 Agustus 2015 lalu tentang muatan pasal 31 ayat 3 Undang Undang Perkawinan (UUP) tahun 1974 dan pasal 79 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga”. Menurut beliau bahwa istilah “kepala keluarga” identik dengan sebuah organisasi atau kantor sehinggga idealnya tidak disandingkan dengan istilah peran isteri sebagai ibu rumah tangga. Kata “kepala keluarga” idealnya disanding dengan wakil kepala bukan ibu rumah tangga.
Masalah ini juga menjadi kritikan tajam Dr. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan M.Ag dalam bukunya “Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI” . Beliau mengatakan bahwa penyebutan “kepala keluarga” pada satu sisi dan “ibu rumah tangga” pada sisi yang lain, tanpa disadari membuktikan tidak berlakunya prinsip perkawinan yang salah satunya adalah kedudukan yang seimbang antara suami isteri. Prinsip keseimbangan tersebut jelas termuat di dalam ayat 2 pasal tersebut yang berbunyi “hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
Kita tahu istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga sudah menjadi penyebutan yang baku di dalam masyarakat baik di dalam verbal atau tulisan misalnya pengisian data tentang keluarga dan lain sebagainya yang menyangkut administrasi. Tetapi jelas bahwa munculnya istilah tersebut tidak serta merta muncul begitu saja dan hampir dapat dipastikan mengandung latar belakang pemikiran.
Melalui tulisan ini dimaksudkan untuk mengkaji istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga” baik di dalam UUP dan KHI pada dua hal: pertama, apakah istilah kepala keluarga di satu sisi dan ibu rumah tangga di sisi yang lain mengandung pengertian yang tidak sesuai untuk memaknai sebuah keluarga sebagai unit terkecil dari suatu masyarakat. Kedua, apakah istilah tersebut mengandung unsur ketidakseimbangan antara kedudukan suami dan isteri.
Pembahasan
A. Persfektif Fiqh tentang Istilah Kepala Keluarga
Penggunaan istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga tidak mempunyai sumber di dalam kitab fiqh tetapi meski tidak mempunyai dasar yang kuat untuk mengklaim bahwa istilah kepala keluarga di dalam KHI maupun UUP mempunyai kaitan yang sangat erat dengan penafsiran pada surat annisa 34 yang artinya:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…”.(Q.S. al Nisa, [4:34).
Terjemahan di atas menyebut dengan jelas kata “pemimpin” sebagai arti dari kata “Qawwam”. Ini adalah salah satu pandangan saja dari banyak pandangan lain dalam memberi arti kata “qawwam” tersebut. Al Thabari, guru besar para ahli tafsir (Syaikh al Mufassirin), menafsirkan kata tersebut dengan “Ahl al Qiyam 'alaihinn fi Ta'diibihin wa al Akhdz fi Aydihinn”. Singkatnya adalah para laki-laki adalah “pendidik” kaum perempuan (para istri).
Fakhr al Din al Razi (w.606 H), Al Tafsir al Kabir,ahli tafsir besar, menafsirkannya “Musallathun 'ala ta'diibihinn wa al akhdz fawqa Aydinhin. Fa kaannahu Ta'ala Ja'alahu Amiran 'alaiha wa Nafizd al Hukm 'alaiha”. Ringkasnya :“laki-laki adalah orang yang diserahi kekuasaan untuk mendidik perempuan dan membimbing mereka.” Seakan-akan Allah menjadikannya “penguasa” atas perempuan dan pelaksana aturan untuk kepentingan perempuan”. Ibnu Katsir mengatakan : “Huwa raisuha wa kabiruha wa al hakim 'alaiha wa muaddibuha idza I'wajjat” (laki-laki/suami adalah kepala, pembesar, pengambil keputusan dan pendidik perempuan/istri, jika dia menyimpang).
Beberapa penafsir lain mengartikan “qawwam” secara lain lagi, antara lain “pelindung, pengayom, pembina, penanggungjawab, pendukung dan sebagainya. Terlepas dari berbagai arti yang berbeda- beda tersebut, pada umumnya para ahli tafsir menyepakati bahwa laki-laki/suami berada di atas perempuan/istri. Terhadap tafsir-tafsir ini orang bisa mempunyai kesan dan merefleksikan nuansa yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman hidupnya masing-masing. Kesan-kesan tersebut pada umumnya ingin menunjukkan dan menegaskan bahwa kepemimpinan laki-laki tersebut tidak boleh digunakan untuk menindas, menyakiti apalagi mengeksploitasi perempuan/istri, melainkan untuk kepentingan yang baik, termasuk bagi perempuan sendiri.
Jika kita membuka tafsir-tafsir klasik kalangan ulama terkemuka masa lalu mereka pada umumnya sepakat memberikan pengertian Qawwam bahwa laki-laki dalam konteks berkeluarga dan bermasyarakat adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Karena memang secara fitri terdapat perbedaan-perbedaan yang bersifat natural di antara keduanya dan bukan semata-mata bersifat kasbi atau karena suatu proses seperti dipahami oleh penganut teori kultur. Pemikiran ini sejalan dengan ketentuan-ketentuan syariah yang lainnya seperti kewajiban suami untuk melindungi, menafkahi dan mendidik isteri. Kewajiban pria untuk berjihad yang tidak berlaku bagi kaum perempuan. Pria juga karena tanggungjawabnya yang besar memperoleh bagian yang lebih besar di dalam hak waris. Sehingga dapat dikatakan bahwa kedudukan tersebut adalah sesuatu yang melekat pada diri setiap suami. Lain halnya jika suami tersebut tidak menjalankan fungsinya sebagai pemimpin keluarga bukan berarti bahwa fungsi tersebut menjadi menghilang.
Meski demikian penafsiran ini tetap saja ada yang memandang subjektif dan diskriminatif karena kebanyakan para ahli tafsir adalah laki-laki dan budaya masyarakat waktu itu kebanyakan adalah patrilineal.
B. Persfektif Peraturan dan Perundang-undangan
UUP dan KHI menyebutkan “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga”. Secara tekstual kata kepala keluarga disandingkan dengan ibu rumah tangga terkesan tidak sinkron dan tidak balance, penggunaan kata kepala idealnya didampingi oleh kata wakil atau kata lainnya yang dianggap pas untuk mendampingi tugas sebagai kepala. Tetapi menurut penulis penggunaan dan penafsiran kata tersebut erat kaitannya dengan faktor kebiasaan dan kultur bangsa indonesia yang menempatkan posisi atau kedudukan suami itu sebagai kepala keluarga dan isteri adalah sebagai ibu rumah tangga. Meskipun kultur ini tidak persis sama dengan yang ada di Negara-Negara Arab Timur Tengah. Karena peran perempuan Indonesia sudah lebih maju dan lebih besar dari perempuan di sana. Tetapi untuk memimpin keluarga masih dapat dianggap mempunyai kultur yang sama.
Oleh karena menurut Penulis sebaiknya tidak perlu diartikan terlalu jauh dengan pendekatan gender atau feminisme sehingga dianggap pasal tersebut menempatkan kedudukan isteri menjadi tidak seimbang sebagaimana statemen pada ayat berikutnya dari pasal tersebut, yang berbunyi: “Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
Secara kontekstual kata “kepala keluarga” dan “ibu rumah tangga” sudah menjadi yang ideal untuk menggambarkan kedudukan seorang suami sebagai orang yang mempunyai tanggung jawab dalam memimpin keluarganya termasuk mendidik, membimbing dan melindungi isteri serta anak-anak termasuk menafkahi di dalam sebuah rumah tangga. Lebih sederhananya seperti yang disampaikan oleh Dr. Mukti Arto dalam diskusi Penulis kepada beliau bahwa di dalam keluarga sebagai unit terkecil organisasi sehingga harus ada yang memimpin atau lebih sederhananya lagi posisi suami sama seperti ketua majelis, bahwa majelis hakim harus ada ketua.
Kultur suami adalah kepala keluarga saat ini masih melekat di dalam budaya masyarakat Indonesia dan sangat masuk akal jika kepemimpinan rumah tangga itu diletakkan kepada suami yang tanggung jawabnya telah diuraikan dengan rinci dalam pasal 34 UUP dan pasal 80 ayat 1 s.d 3 KHI.
Selain termuat di dalam UUP dan KHI istilah kepala keluarga sudah menjadi istilah yang baku di dalam perundang-undang lainnya. Di dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 61 disebutkan:
“ KK memuat keterangan mengenai nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga ...dst” .
Istilah kepala keluarga juga sudah menjadi istilah yang umum baik secara verbal maupun di dalam tulis menulis dan administrasi resmi. Di dalam wikipedia juga memakai istilah kepala keluarga. Diterangkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Ayah sebagai suami dari istri dan ayah dari anak-anaknya, berperan sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung dan pemberi rasa aman, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota dari kelompok sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya.Sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya, pelindung dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya, disamping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarganya.Anak-anak melaksanakan peranan psikosial sesuai dengan tingkat perkembangannya baik fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Kesimpulan
- Bahwa istilah kepala keluarga murni kultur bangsa Indonesia yang bisa jadi bersumber dari pemahaman keislaman fiqh yang sudah mengkristal atau kultur nenek moyang bangsa Indonesia oleh karena itu istilah kepala keluarga dan ibu rumah tangga sampai saat ini sesuai.
- Penggunaan istilah kepala keluarga di satu sisi dan ibu rumah tangga adalah sebuah penyebutan yang pragmatis dan fungsional untuk mengakomodir nilai kultur bangsa Indonesia yang masih menganggap suami adalah pemimpin, pelindung dan pengayom keluarga di dalam sebuah unit terkecil masyarakat yang disebut dengan keluarga, karena tanpa adanya pemimpin maka masa depan keluarga tidak akan baik.
Bahan Bacaan
- Abu Ja’far, Muhammad ibn Jarir ibn Yazid Kahlid ath-Thabari, Jami al bayan an Ta’wil Ay al-Quran, V/48, Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H.
- Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, kencana Prenada Mediagroup, cet. V.
- Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan M.Ag dalam bukunya “Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI”
- Fakhr al Din al Razi (w.606 H), Al Tafsir al Kabir, Dar al Kutub al Ilmiyyah, Teheran, Juz X, hlm. 88.
- Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.