Status Nasab Anak Luar Nikah dan Warisannya Ditinjau Menurut Peraturan Perundang-Undangan dan Hukum Islam
STATUS NASAB ANAK LUAR NIKAH DAN WARISANNYA
DITINJAU MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN HUKUM ISLAM
Abd. Latif, S.H., M.H.
( Panitera Pengganti Mahkamah Syar’iyah Aceh)
Email: Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
Abstrak
Dalam hukum Fiqih, ketentuan nasab menjadi salah satu alasan untuk saling mewarisi. Anak yang tidak memiliki status yang jelas akan bermasalah dalam kewarisan. Dalam masyarakat, anak yang tidak jelas status nasab disebut “anak zina”. Asal-usul anak merupakan dasar untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman (nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang diyakini dalam berbagai kitab Figh. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa : Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Berkaitan dengan hal ini dalam Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan : “Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep dan status nasab anak luar nikah dan untuk mengungkap status anak yang lahir di luar nikah dalam kaitannya dengan hak memperoleh warisan, wali dan nafkah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya, baik menurut Peraturan Perundang-undangan maupun menurut Hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian Preskriptif dengan pendekatan yuridis normatif, yang bertujuan untuk memaparkan/melukiskan keadaan obyek atau peristiwanya sekaligus menganalisis status nasab anak luar nikah dan warisannya menurut perundang-undang dan hukum Islam.
Nasab merupakan pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya, yang saling menimbulkan hak dan kewajiban. Status anak di luar nikah yakni anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut Hukum Islam disamakan dengan anak zina dan anak li’an.
Dengan demikian, agar adanya harmonisasi di dalam penerapannya dan demi kemaslahatan umum, maka materi ajaran yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist, dapat menjadi serapan dalam pembentukan Hukum Nasional.
untuk Artikel Selengkapnya Klik Disini