Maraknya Nikah Mut’ah Di Indonesia
MARAKNYA NIKAH MUT’AH DI INDONESIA
SEBUAH PENOMENA HUKUM
Oleh : BAIDHOWI. HB
PENDAHULUAN
Dengan semakin maraknya perkawinan kontrak (nikah mut’ah) sebagaimana tayangan TV beberapa waktu lalu, sebagaimana terjadi dan berkembang di masyarakat Blitar Jawa Tengah, Bogor Jawa Barat, konon katanya turis-turis asing baik dari timur tengah maupun lainnya, mereka selama di Indonesia, melakukan kawin kontrak, ada yang 1 (satu) tahun, 2 (dua) tahun dan seterusnya. Padahal nyata-nyata MUI melalui fatwanya menyatakan Nikah Mut’ah hukumnya dilarang, tapi dalam peraktek hal tersebut tetap aja jalan, bahkan yang menikahkan anak perempuan itu ayah kandungnya sendiri, dengan dalih yang penting ada kesejahteraan untuk anaknya itu dari pada melacur.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut mendorong penulis melihat lebih jauh, mengapa nikah mut’ah itu dilarang dan sejauh mana tingkat pelarangan itu sendiri, dan apa saja akibat hukum dari pelaksanaan nikah mut’ah itu sendiri, yang selanjutnya penulis tuangkan dalam makalah ini.
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Nikah ; kata nikah/an nikah dalam bahasa arab yang berarti menghimpun atau mengumpulkan[1], secara umum pengertian nikah (diluar difinisi yang dikemukakan oleh ulama fiqih) adalah salah satu upaya untuk menyalurkan naluri seksual suami isteri dalam sebuah rumah tangga sekaligus sarana untk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan eksistensi manusia diatas bumi.[2]
Sedangkan dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974, tidak disebutkan istilah Nikah tapi perkawinan, yang berarti ; ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974).
Selanjutnya didlam penjelasan pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut diuraikan : “ sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunya hubungan yang erat sekali dengan Agama/Kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur bathin /rokhani juga mempunyai peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula meruapakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.[3]
Dari pengertian tersebut, dapat ditarik suatu pengertian bahwa dibalik syari’at perkawinan itu, terkandung hikmah antara lain :
1. Menyalurkan naluri seksual secara sah dan benar, Islam bermaksud membedakan antara manusia dan hewan dalam penyaluran naluri seksual melalui perkawinan.
2. Cara yang paling baik dan sehat untuk mengembangkan keturunan secara sah.
3. Memupuk rasa tanggungjawab dalam memelihara, mendidik dan membahagiakan anak.
4. Menyalurkan naluri kebapaan dan keibuan seseorang.
5. Membagi rasa tanggungjawab antara suami dan isteri.
6. menyatukan hubungan kekeluargaan dan silaturrahmi dari keluarga masing-masing pihak.
7. Memperpanjang usia.
Hasil penelitian masalah-masalah kependudukan yang dilakukan PBB tahun 1958, menunjukkan bahwa pasangan suami isteri mempunyai kemungkinan lebih panjang umurnya disbanding orang-orang yang tidak menikah selama hidupnya.
a. Nikah Mut’ah
Kata mut’ah dalam bahasa arab berasal dari mata’a, yanta’u, mat’an wa mut’atan kesenangan atau kenikmatan.
Nikah mut’ah adalah nikah atau perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan wanita dengan akad dan jangka waktu tertentu.
Menurut jumhur Ulama fiqh, yang dimaksud dengan “akad dan jangka waktu tertentu” dalam nikah mut’ah adalah akad yang tidak diikat oleh kehendak bersama yang berdasarkan cinta kasih untuk hidup berumah tangga selama-lamanya sebagai suami isteri. Akad seperti ini hanya berdasarkan kebutuhan biologis dalam waktu tertentu. dalam akad ini disebutkan pula jumlah atau jenis mahar, sesuai kesepakatan kedua belah pihak, demikian pula dengan pembatasan waktu.
Ada pula Ulama fikih yang medifinisikan dengan “akad seorang laki-laki kepada wanita tertentu, seperti sehari seminggu atau sebulan’. Al Jaziri (ahli fikih perbadingan mazhab) mendifinisikannya dengan “nikah yang dikaitkan dengan pembatasan waktu tertentu”. difinisi lain yang hampir sama juga dikemukakan oleh ulama mazhab Maliki dan Syafi’i yang pada dasarnya menunjukkan adanya pembatasan waktu tertentu, pembatasan waktu tersebut diungkapkan pada saat akad berlangsung.
Menurut Ulama mazhab Syafi’i, mazhab Hambali dan mazhab Maliki, nikah mut’ah disebut juga nikah mu’aqqat (nikah yang dibatasi waktunya). Akan tetapi ulama mazhab Hanafi, ada perbedaan antara nikah mut’ah dan nikah mu’aqqat, akad nikah mut’ah menggunakan kata mut’ah, seperti “mata’ tuki bin nafsi” (aku menikahi engkau dengan nikah mut’ah), sedangkan pada nikah mu’aqqat tidak demikian. Istilah lain dari nikah mut’ah adalah nikah munqati’ (nikah yang terputus).