msaceh

HIsab dan Rukyatul Hilal Oleh Drs, Baidhowi.HB,S.H | (31/10)

Dilihat: 161080

 

HISAB DAN RU’YATUL HILAL SAAT KINI DAN SAAT YANG AKAN DATANG

DALAM MENETAPKAN 1  (SATU) SYAWAL

 SEBUAH PROBLEMA YANG TAK KUNJUNG SELESAI DI INDONESIA

Oleh : Drs, Baidhowi.HB,S.H

PENDAHULUAN

            Pada dasarnya di dalam menetapkan  1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal di setiap tahun di Indonesia hingga saat ini dan mungkin saat-saat mendatang tak kunjung menyatu, selalu ada saja timbul perbedaan yang mungkin disebabkan adanya perbedaan prinsip yang mendasar dalam memahami nash yang berakibat melahirkan perbedaan cara penerapannya, ada yang merujuk pada pendapat wujudul Hilal atas dasar Hisab (bulan sudah berada di atas ufuq) dan ada juga yang merujuk pada pendapat Rukyatul hilal (bulan berada di atas ufuq dengan ketentuan Imkanu  ar- rukyah), dari kedua methode dasar dalam menetapkan  awal  Ramadhan dan  awal bulan Syawwal di setiap tahun di Indonesia khususnya, ketika terjadi hasil Ijtihadnya ternyata jatuh pada hari yang sama, maka tidak menimbulkan permasalahan  di kalangan masyarakat , tapi manakala ternyata hasilnya jatuh pada hari yang berbeda, maka diakui atau tidak, dapat dipastikan menimbulkan dampak  permasalahan di kalangan masyarakat khususnya masyarakat awam, sekurang-kurangnya sedikit kebingungan, karenanya harus menunggu Keputusan Pemerintah, dalam hal ini menteri Agama RI.

            Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud mengenyampingkan hasil keputusan pemerintah, tapi bertitik tolak dari pengalaman pada 1(satu) Syawal 1432 H yang lalu, terutama bagi saudara-saudara kita kaum muslimin yang berada di wilayah Timur  dan tengah Indonesia, yang selisih waktu antara satu dan dua jam dengan yang di wliyah barat Indonesia. Di mana ketika hasil sidang Itsbat di bacakan pada jam delapan malam, di wilayah tengah dan timur Indonesia sudah jam sembilan atau sepuluh malam. Sementara jama’ah shalat Isya’ yang biasanya dilanjutkan dengan shalat taraweh, karena menunggu keputusan dari  pemerintah pusat dalam hal ini Menteri Agama dan itu sudah jam sepuluh malam waktu setempat, boleh jadi jama’ah shlat  isya’ sudah bubar, dan ini brarti mereka tidak melakukan shalat taraweh secara berjama’ah karena malam sudah semakin larut untuk waktu setempat.

            Dari hal-hal antara lain sebagaimana disebut di atas, mendorong penulis untuk mencoba mencari jalan pemecahan (problema solving) dari kemelut yang selalu saja ditemukan setidak-tidaknya dalam  waktu satu   atau beberapa tahun sekali di negeri ini. Pertanyannya apakah keharusan rukyah atau setidk-tidaknya imkanu ar-rukyah yang harus dikedepankan dikala keberadaan hilal dalam teori Hisab di seluruh indonesia sudah menunjukkan angka positif di atas ufuq, tapi dari teori imkanur rukyah tidak dan atau belum memungkinkan untuk di rukyah karena kondisi alam Indonesia yang hampir seluruh medan rukyah diliputi lapisan awan.? Untuk itu penulis coba sekilas urai dalam tulisan berikut ini.

PEMBAHASAN.

A.    Dasar – Dasar Pemikiran

1.     Di antara dasr dalam methode Rukyatul Hilal boleh jadi titik tekan dalam menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal, Hadits Riwayat Bukhari dari Abdullah ibn Umar R.A. yang menyatakan Nabi S.A.W bersabda : “Asy Syahru Tis’un wa ‘Isyruuna Lailatan Falaa  Tashuumu Hatta Tarauhu Fain qhumma ‘Alaikum Fa Akmilul ‘Iddata Tsalaatsiina “ dan Hadits Riwayat Bukhari dari Abi Hurairah R.A. yang menyatakan Nabi S.A.W. bersabda : “Shuumuu Li Rukyatihi wa Afthiruu Li Rukyatihi, Fain Qhubbiya ‘Alaikum Fa Akmiluu ‘Iddata Sya’baana Tsalaatsiina “ (vide  Shaheh Bukhari, Juz III, hal 478 – 479).

2.      Sedang di antara dasar dalam methode Wujudul Hilal boleh jadi titik tekan dalam  menetapkan awwal Ramadhan dan awal Syawal, Hadits Riwayat Bukhari dari Abdullah ibn Umar R.A. bahwa Rasul S.A.W. pernah memperingatkan tentang Ramadhan, beliau bersabda : “Laa Tashuumu Hatta Tarau al Hilaal wa Laa  Tufthiruu Hatta Tarauhu, Fa In Qhumma ‘Alaikum Faqdiruu Lahu “ ( vide  Shahih Bukhari, Juz III, halaman 478 ).

B.    Sebuah Analisa.

            Dari teks hadits di atas, penulis melihat hal-hal sebagai berikut :

1.     Dari ke dua teks matan hadits sebagaimana disebut pada angka 1 (satu) di atas, pertama pada kalimat “Fain qhumma ‘Alaikum Fa Akmilu al ‘Iddata Tsalaatsiina” bila dihubungkan dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan “Falaa Tashuumu Hatta Tarauhu,”

Begitu juga pada kalimat “Fain qhubbiya ‘Alaikum Fa Akmiluu Iddata Sya’baana Tsalaatsiina”, maka kesan yang penulis lihat dari teks matan hadits tersebut, adalah berbicara khusus soal awal Ramadhan saja, tidak inklusif di dalamnya penentuan awal Syawal. Namun untuk lebih jauh mengetahui, dalam hal apa dan kepada siapa saja konteks pernyataan Nabi S.A.W. ini disampaikan saat itu, penulis tidak sampai sejauh itu melihatnya, mengingat terbatasnya waktu untuk melakukan penelitian lebih jauh.

            2. Sedang dari teks  matan hadits sebagai yang disebut pada angka 2 (dua) di atas, yaitu pada kalimat “Laa Tasuumuu “ dan “walaa Tufthiruu” bila dihubungkan dengan kalimat terakhir dari hadits tersebut “Fa  Aqdiruu Lahu”, maka kesan yang penulis peroleh dari muatan teks matan hadits tersebut adalah berbicara soal awal Ramadhan dan sekaligus soal awal Syawal. Kemudian bila dikaitkan pula dengan kalimat “Fain qhumma ‘Alaikum Fa Aqdiruu Lahu“, maka tidak menyebut Fa Akmiluu (sempurnakanlah), menurut penulis  kata Fa Aqdiruu Lahu di sini mengandung arti perkirakanlah, (sebagai embireo lahirnya ilmu hisab) yang nota benne di saat hadits-hadits di atas dinyatakan Nabi  S.A.W. Ilmu Hisab dan seluruh perangkat instrumen ilmu hisab belum ada, maka praktek di saat itu tekanannya Rukyatul Hilal, dan bila sulit terlihat maka Sya’ban digenapkan tiga puluh hari.

     Untuk saat ini menurut penulis, atas anugrah Allah berupa Ilmu Hisab yang tingkat keakuratan perhitungannya cukup tepat dan kalau pun terjadi penyimpangan cukup sangat kecil, apa salah manakala dari hasil Hisab para ahli di negeri ini yang menyatakan posisi hilal  untuk di seluruh Indonesia dari Timur sampai Barat bila sudah jelas positif berada di atas ufuq, katakan kurang dari dua derajat yang kalupun hendak di Rukyah di Medan Rukyah manapun di Indonesia meski dengan bantuan alat canggih sangat sulit terlihat. Apakah salah manakala melalui pemerintah yang selama ini kita kedepankan methode rukyah dengan konsekwensi ghumma dan takmil, kita arahkan pandangan dengan mengedepankan methode Hisab bila terjadi hal yang serupa seperti pada penentuan awwal syawal 1432 H yang lalu. Saya yakin Insya Allah Tidak akan terjadi perbedaan yang akan  membuat bingung masyarakat.

 

C.     Aneka Perbedaan Pendapat.

            Bila kita berbicara soal perbedaan pendapat, barangkali tak pernah kunjung selesai sampai kapanpun. Tapi manakala kita berlapang dada dan tetap menghargai perbedaan yang ada, namun bila secara bersama kita mengedepankan kebersamaan dan kesatuan langkah dalam hal ini, kemudian mengesampingkan perbedaan dalam arti bukan mempertajam. Insya Allah hasil capai yang diinginkan akan menunjukkan angka yang positif. Sekedar ilustrasi ada baiknya penulis urai perbedaan-perbedaan yang mengemuka dengan kriteria-kriteria tertentu yang digunakan sebagai penentu awal bulan pada kalender hijriyah selama ini sebagai berikut :

1.     Rukyatul Hilal.

Rukyatul Hilal adalah kriteria penentu awal bulan kalender hijriyah dengan cara merukyah (mengamati) hilal  secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari. Kriteria ini berpegangan pada hadits Nabi Muhammad :

“Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal, jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)”.

Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasul dan para shahabatnya dan mengikuti ijthad para ulama  empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan hijriyah.

2.     Wujudul Hilal.

      Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip : Ijtimak(konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal qhurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) bulan saat matahari terbenam.

Kriteria ini di Indonesia digunakan Oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha untuk setiap tahunnya.

Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria Wujudul Hilal lagi, tetapi menggunakan methode Imkanur-rukyah. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak, tetapi hisab wujudul hilal dapat dijadikan penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al Qur’an pada  Q.S.Yunus : 5. QS.Al Isra’: 12, QS.Al An’am : 96, dan QS.  Ar Rahman : 5 serta penafsiran Astronomis atas QS. Yasin : 36 – 40

3.     Imkanur – Rukyat

          Imkanur rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darusssalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah dengan prinsip :

Awal bulan (kalender) hijriyah terjadi jika :

1.     Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) bulan di atas cakrawala minimum 2 derajat, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan- Matahari minimum 3 derajat, atau

2.     Pada saat bulan terbenam, usia bulan minimum 8 Jam, dihitung sejak ijtima’.

     Secara bahasa Imkanur-rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal.

     Secara praktis, Imkanur-rukyat dimaksudkan untuk menjembatani methoode rukyat dan methode hisab. Terdapat 3 kemungkinan kondisi :

a.       Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Methode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi  ini.

b.       Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Methode Rukyat dan Hisab dalam kondisi in sepakat.

c.        Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat . Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara Rukyat. Tetapi secara methode hisab hilal sudah di atas cakrawala/ufuq. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat, maka awal bulan telah masuk malam itu. Methode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi in. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka methode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini Rukyat dan Hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.

          Meski demikian ada juga yang berfikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini. Hal ini terjadi pada penetapan 1 Syawal 1432 H/2011 M

4.     Rukyat Global

      Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) hijriyah yang menganut prinsip bahwa :  Jika satu penduduk negri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.

 

      Sebagai akibat dari perbedaan methode penentuan kriteria  inilah yang seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan yang berakibat pula adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan dan atau Hari Raya Idul Fithri.

      Di Indonesia perbedaan tersebut pernah beberapa kali terjadi. Misal pada tahun1992 (1412 H), ada yang berhari Raya Idul Fithri pada hari Jum’at 3 April 1992 mengikuti Arab Sa’udi. Ada yang  hari Sabtu 4 April 1992 sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang hari Minggu 5 April 1992 dengan mendasarkan pada Imkanur-rukyat.

      Penetapan awal Syawal juga pernah terjadi perbedaan pendapat yaitu pada tahun 1993, 1994 dan yang sangat menarik sebagaimana yang terjadi perbedaan penetapan awal Syawal 1432 H ( 2011 M),  bahwa  sidang Itsbat  memutuskan awal Syawal jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011.  Sementara di kalangan Muhammadiyah tetap pada pendiriannya awal Syawal jatuh pada hari Selasa 30 Agustus 2011. Sementara menurut methode Hisab posisi Hilal di seluruh Indonesia saat itu sudah berada diatas ufuq antara 0 – s/d 2 derajat.

      Sebagai akibat dari perbedaan ini, di samping terkesan ummat Islam di negeri ini seolah terbelah akibat dari prinsip perbedaan kriteria yang digunakan dalam menetapkan awal bulan, juga sempat menimbulkan berbagai pertanyaan-pertanyaan hukum terkait pelaksanaan ibadah Ramadhan dan Shalat ‘Id itu sendiri, kendati Pemerinth mengkampanyekan bahwa perbedaan itu hendaknya tidak di jadikan persoalan di satu sisi, padahal di sisi lain hal yang demikian itu hakikatnya sudah merupakan sebuah persoalan yang sesungguhnya menanti jawaban tegas.

 

C.    Upaya-Upaya Dalam Pemecahan Masalah.

            Selama ini sejak zaman Nabi Saw, Sahabat, Tabi’in dan bahkan hingga saat sekarang ini, dalam menetapkan awal bulan Hijriyah pada dasarnya digunakan methode Rukyatul Hilal dan Methode Hisab, di antara kedua methode ini hampir tak pernah selesai dibahas, yang ujung-ujungnya kalau hilal tidak nampak di rukyat maka jalan yang ditempuh Istikmal, bagaimana dengan hasil Hisab ? ini nampak di nomor duakan, atau sekedar untuk membantu memudahkan rukyat, boleh jadi karena hal itu tidak pernah dilakukan Rasul s.a.w, padahal kalau terjadi dari hasil para ahli hisab ternyata menunjukkan hilal berada di atas ufuq (katakan antara 0/1 samapai 2 derajat) sedang untuk di rukyat dimungkinkan gagal tidak berhasil, apakah kita tetap bersikeras Istikmal dengan dalih karena hal itu yang dipraktekkan Nabi saw, shahabt dan seterusnya, sedangkan hasil hisab seolah-olah tertutup untuk menentukan awal bulan Kalender Hijriyah. Oleh karena itu kita lihat bagaimana pengertian secara divinitif kedua hal tersebut berikut ini :

HISAB DAN RUKYAH

            HISAB adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyah.

            Secara harpiyah Hisab berati perhitungan. Dalam dunia Islam  istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi.

Posisi matahari menjadi penting karena menjadi patokan ummat Islam dalam menentukan masuknya waktu shalat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat memulai berpuasa, awal Syawal (‘Idul Fithri), serta awal Dzul Hijjah untuk menentukan saat jama’ah haji wuquf di ‘Arafah (9 Dzul Hijjah) dan ‘Idul Adha (10 Dzul Hijjah).

            Di dalam al Qur’an Surat Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa Tuhan sengaja menjadikan matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar Rahmaan (55) ayat 5 menyebutkan bahwa matahari dan bulan bredar menurut perhitungan.

            Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan), maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim yang telah mengembangkan methode Hisab modern adalah AL BIRUNI (973 – 1048 M ), IBNU TARIQ, AL KHAWARIZMI , AL BATANI  dan HABASAH.

Bahkan dewasa ini, methode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi  yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (sofwere) yang praktis juga telah ada.

 

            RUKYAT adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan tsabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya Ijtima’ (konjungsi), rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.

Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maqhrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan cahaya matahari, serta ukurannya sangat tipis.

            Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maqhrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maqhrib hari berikutnya.

Namun demikian dari pengalaman selama ini tidak selalu hilal dapat terlihat. Dalam teori manakala selang waktu antara Ijtima’ dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka secara ilmiyah hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya bulan masih terlalu suram di bandingkan “ cahaya langit” sekitarnya.

            Kriteria DANJON (1932 – 1936) menyebutkan  bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara bulaan matahari sebesar 7 derajat.

 

D.    ALTERNATIF PEMECAHAN

            Bertitik tolak dari pengalaman selama ini, dari beberapa methode yang terurai di atas, ternyata tidak membuahkan kesamaan pandangan dan pendapat meskipun kadangkala di satu sisi ada persamaan hari dan waktu dalam menetapkan awal Ramadhan dan awal Syawal, tapi dapat dipastikan akan timbul lagi perbedaan meski tidak setiap tahun sebagai akibat dari mengedepankan konsep rukyah.

            Penulis sama sekali tidak bermaksud mengenyampingkan methode Rukyat, karena ia memiliki nash yang sharih yakni Hadits Nabi s.a.w di atas, dan kalaupun terjadi persamaan antara methode hisab dan rukyat yang menurut hisab, posisi hilal  di akhir Sya’ban atau Ramadhan berada di bawah ufuq, dan dengan alat apapun untuk di rukyah tak mungkin terlihat, maka ketika itu terjadilah kesepakatan untuk istikmal, penulispun sepakat dengan hal ini. Karena dari kedua methode tersebut tak satupun yang dapat diterapkan saat seperti itu, kecuali istikmal.

            Akan tetapi manakala di dalam methode Hisab ternyata posisi hilal di akhir Sya’ban dan atau di akhir Ramadhan (hari ke 29) setelah qhurub di seluruh Indonesia para ahli hisab sepakat menyatakan hilal berada di atas ufuq antara 1 s/d 2 derajat, sedang kalaupun di rukyah sangat sulit untuk dilihat, maka menurut hemat penulis di saat-saat seperti itu kiranya patut untuk mengedepankan hasil hisab, sehingga kemungkinan terjadi dualisme pelaksanaan mengawali ibadah Ramadhan dan atau hari raya ‘Idul Fithri dapat dipastikan tidak akan terjadi, sepanjang hal tersebut sudah memperoleh legitimasi dan menjadi keputusan sidang itsbat oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Agama RI.

            Sekarang persoalannya adalah apakah setiap kita baik dari organisasi keagamaan (Islam) manapun ia, bila ada kemauan dan kesiapan mengorientasikan pemikiran untuk membuka diri menjunjung kebersamaan dan mempertipis perbedaan, maka Insya Allah tingkat perbedaan pelaksanaan mengawali  Ramadhan atau ‘Idul Fithri dari tahun ke tahun tidak akan terulang lagi, setidak-tidaknya akan menghilang dengan sendirinya. Wallahu A'lam.

                                         Banda Aceh,  12 Dz. Q’adah 1432 H

                                                                  10 Oktober 2011 M

lapor.png maklumat_pelayanan.jpg

HUBUNGI KAMI

Mahkamah Syar'iyah Aceh

Jl. T. Nyak Arief, Komplek Keistimewaan Aceh

Telp: 0651-7555976
Fax: 0651-7555977

Email :

ms.aceh@gmail.com

hukum.msaceh@gmail.com

kepegawaianmsaceh@gmail.com

jinayat.msaceh@gmail.com

LOKASI KANTOR

Mahkamah Syar'iyah Aceh © 2019